Sabtu, 01 Oktober 2011

Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur.


Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq.
(Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur.

Perbedaan Sinekologi dan Autekologi :
(1)    Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.  
(2)Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam     satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari             struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan         payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka           margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.
.

Myristicaceae merupakan famili khas tropis dengan Myristica sebagai genus terbesar. Di antara 175 spesies Myristica di dunia 9 spesies merupakan spesies asli Indonesia bahkan beberapa termasuk endemik, langka dan dilindungi undang-undang. Myristica teijsmannii Miq. atau dikenal dengan nama Durenan, Palan, Kosar atau Kayu Resep merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam kategori endangered atau genting menurut IUCN dengan kriteria EN B1+2C. Spesies ini memiliki penyebaran jarang dan baru dilaporkan ditemukan di Jawa Timur, yaitu di kawasan Pacitan - Gunung Kawi, Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro dan Pulau Sempu. Data kuantitatif status populasi serta aspek-aspek ekologis, kebutuhan dan interaksi ekologis M. teijsmannii dengan habitatnya (autekologi) belum diketahui. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari populasi, karakteristik habitat, interaksi dan kebutuhan-kebutuhan ekologis M. teijsmannii dengan memfokuskan penelitian di Pulau Sempu yang berstatus sebagai cagar alam. Studi ini dilakukan di enam lokasi yang secara estimasi visual mewakili keragaman floristik dan kondisi lingkungan Cagar Alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Teluk Semut, Air Tawar, Gua Macan, dan Waru-waru. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa tegakan pohon M. teijsmannii menunjukkan nilai dominasi relative dan kerapatan tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha denganindeks nilai penting sebesar 27,91% yang menunjukkan dominasi M. teijsmannii. Struktur populasinya secara keseluruhan didominasi oleh fase semai, sedangkan fase-fase yang lebih dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon memiliki proporsi terendah. Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi M. teijsmannii. Waru-waru memiliki jumlah total individu terbanyak (59 individu) sedangkan di Telaga Lele hanya ditemukan 5 individu. Di Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut nampak jelas dominasi fase semai dengan kecenderungan menurun pada populasi fase lebih dewasa. Di Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa rekruitmen semai tidak merata di setiap lokasi, berkaitan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dilihat dari segi gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan efek tepi (edge effect) yang lebih meluas ke dalam hutan sehingga dapat merugikan pertumbuhan populasi M. teijsmannii. M. teijsmannii menyebar secara mengelompok dengan indeks penyebaran Morisita (Ip) 0,51 dan berasosiasi positif dengan 12 spesies pohon pada tingkat asosiasi yang bervariasi. Tingkat asosiasi yang cukup tinggi berdasarkan Jaccard Index ditunjukkan oleh Pterospermum javanicum (0,529), Cryptocarya ferrea (0,500), Orophea hexandra (0,455), dan Aglaia elliptica (0,467). Agen dispersal bijinya adalah lutung Jawa (Trachypitecus auratus) dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Keberadaan kedua spesies tersebut perlu dilindungi agar kelangsungan populasi M. teijsmannii juga dapat terjaga. Hasil analisis korelasi antara parameter kemelimpahan spesies dan faktor fisika serta kimia tanah menunjukkan bahwa jumlah individu fase sapihan, tiang dan pohon M. teijsmannii berkorelasi kuat pada tanah yang memiliki kandungan pasir lebih tinggi. Ini menjadi argumen mengapa Waru-waru dikoloni individu M. teijsmannii lebih banyak daripada lokasi lainnya karena lokasi ini memiliki kandungan pasir lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Fase sapihan memiliki korelasi kuat tidak saja dengan kandungan pasir tetapi juga dengan kandungan C, N dan K. Ini menunjukkan faktor kesuburan tanah (rasio C dan N) menentukan seedling recruitment dan seedling establishment menuju fase sapihan yang lebih dewasa. Secara umum pH di lokasi penelitian bersifat netral (6,0 – 7,0) dengan rataan suhu 24-260C dan kelembaban tanah 45-86%. Suhu udara pada pengukuran
sekitar pukul 08.00-14.00 tercatat antara 22-300C dengan kisaran kelembaban udara 53-92%. Teluk Semut memperlihatkan nilai kelembaban udara yang relatif tinggi, antara lain disebabkan oleh kondisi hutan di kawasan tersebut yang relatif terang dan memiliki lebih banyak gap kanopi. Kondisi ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kesintasan semai di kawasan ini sangat rendah. Pengujian statistik untuk model distribusi populasi M. teijsmannii dengan menggunakan metode Generalized Linear Model (GLM) terhadap pengaruh faktor topografis memberikan ketepatan model atau deviansi sebesar 1,10 yaitu berkategori baik dengan nilai signifikan pada lereng dan arah lereng. Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi populasi M. teijsmannii ditentukan oleh lereng dan arah lereng tetapi tidak oleh ketinggian. Kehadiran individu M. teijsmannii secara signifikan dijumpai lebih banyak pada kawasan datar dengan kemiringan 0-8%, sedangkan pada kemiringan agak curam (15-25%) dijumpai populasi yang rendah. M. teijsmannii ditemukan pada seluruh kisaran kelas ketinggian di CA Pulau Sempu, tepatnya pada 25–86 m dpl sehingga variabel ketinggian lokasi tidak memberikan perbedaan yang berarti secara statistik terhadap kehadiran individu. Jumlah individu dalam plot pengamatan cenderung semakin banyak pada arah lereng yang tidak mengarah langsung ke sebelah timur, yaitu pada utara-barat. Sebaliknya pada aspek yang langsung mengarah ke timur, jumlah individu ditemukan semakin sedikit. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada lereng yang tidak memperoleh sinar matahari sepanjang hari. Fenomena ini mendukung dugaan bahwa spesies ini memiliki sifat semi toleran. Pihak pengelola Resort CA Pulau Sempu perlu menekan dampak aktivitas pengunjung terhadap keaslian dan kealamian habitat di kawasan ini. Kawasan Teluk Semut perlu mendapat pengawasan dan pengelolaan yang lebih baik karena ada ketidakseimbangan populasi M. teijsmannii sebagai tumbuhan langka Jawa Timur. Selain itu, lokasi ini juga merupakan jalur jelajah lutung sebagai agen dispersal biji, dan merupakan habitat bagi macan tutul (hewan yang juga dilindungi) seperti yang teramati dalam penelitian.

Sumber: 

 Review:
Hasil dari penelitian tersebut sudah jelas bahwa penelitian berbasis autekologi, dimana autekologi sendiri adalah ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dimana penelitian tersebut dilakukan untuk mempelajari populasi, karakteristik habitat, interaksi dan kebutuhan-kebutuhan ekologis M. teijsmannii dengan memfokuskan penelitian di Pulau Sempu yang berstatus sebagai cagar alam. Studi ini dilakukan di enam lokasi yang secara estimasi visual mewakili keragaman floristik dan kondisi lingkungan Cagar Alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Teluk Semut, Air Tawar, Gua Macan, dan Waru-waru. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa tegakan pohon M. teijsmannii menunjukkan nilai dominasi relative dan kerapatan tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha denganindeks nilai penting sebesar 27,91% yang menunjukkan dominasi M. Teijsmannii. Penelitian menunjukkan bahwa rekruitmen semai tidak merata di setiap lokasi, berkaitan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dilihat dari segi gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan efek tepi (edge effect) yang lebih meluas ke dalam hutan sehingga dapat merugikan pertumbuhan populasi M. teijsmannii.

INVASI LANGKAP (Arenga obtusifolia) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, JAWA BARAT1)


PERBEDAAN AUTEKOLOGI DAN SINEKOLOGI
(1) Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
(2) Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.
INVASI LANGKAP (Arenga obtusifolia)
DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, JAWA BARAT1)

Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai Satwa Warisan Dunia (WorldHeritageMammal) di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia . Beberapa hasil penelitian memberikan indikasi bahwa invasi Langkap (Arenga obtusifolia) merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat Badak Jawa secara alarm dan dalam jangka panjang diduga menyebabkan penurunan populasi satwa tersebut serta menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity) di TN Ujung Kulon. Narnun demikian, peranan Langkap dalam ekosistem hutan di TNUjung Kulon hingga saat ini belum banyak diketahui, sehingga ti ndakan manajemen belum dapat dilaksanakan . Penelitian ini menipakan bagian dan hasil Penelitian Hibah Bersaing I mengenai "Pilot Project Pengelolaan Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat (Muntasib, Harvanto, Rinaldi, Masy'ud, Arief, 1991-1995) . Ternuan yang bersifat indikatif ini dipandang penting mengingat bahwa invasi spesies tumbuhan asli dalam  ekosistemnya jarang ditemukan . Selain itu, beberapa hasil penelitian thesis! skripsi (Sahid, 1992; Trenggana, 1994 ; Suprapto, 1995; Prayetno, 1995 ; dan Sutarti, 1995) yang merupakan rangkaian penelitian ini juga memberikan indikasi bahwa invasi Langkap merupakan fenomena yang telah terjadi di beberapa lokasi di TN Ujung Kulon, antara lain: di Citadahan, Cinogar, Cikendeng, Cidaun, Cikuya, Cibuniaga, dan Telanca (3 lokasi) . Di seluruh lokasi tersebut ditemukan bahwa Langkap merupakan tumbuhan dominan pada tingkat tiang, pancang dan semai . Hasil penelitian sebelumnya (Hommel, 1987) menunjukkan bahwa Langkap bukan merupakan tumbuhan dominan di sebagian lokasi tersebut, yaitu : Citadahan, Cinogar, Cikendeng dan sebagian Telanca. Namun demikian sumber dan kecepatan invasi serta faktor-faktor yang menyebabkannya masih perlu diteliti lebih lanjut . Sebagai broowcer sebagian besar pakan Badak Jawa terdiri dan pucuk dan ranting berbagai spesies tumbuhan (Schenkel and Schenkel-Hulliger, 1969; Hoogerwerf, 1970; Amman, 1985), umumnya berasal dari tumbuhan tingkat sapling dan tumbuhan bawah . Badak Jawa memilih lokasi mencari makan di areal hutan sekunder (Hoogerwerf, 1970) dan aksesibilitasnya relatif mudah (Hommel, 1987) . Selain itu Badak Jawa memilih spesies tumbuhan pakan yang tumbuh di tempat terbuka, karena umumnya memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dan menuli dkandungan racun lebih rendah dibanding dengan tumbuhan yang tumbuh di bawah naungan (Amman, 1985) . Dengan demikian, jelas bahwa dominasi Langkap yang bersifat mengharnbat penetrasi cahaya ke lantai hutan (Schenkel et at,1978), akan menghambat pertumbuhan anakan berbagai spesies tumbuh-an pakan Badak Jawa . Asumsi selarna ini bahwa suatu kawasan konservasi yang dibiarkan bebas dari campur tangan manusia akan terpelihara dari kerusakan mungkin tidak selalu benar . Hasil pengamatan selama lebih kurang 4 tahun (Haryanto, 1991, 1992, 1993,1994 ; Pengamatan Pribadi) di Taman
Nasional Ujung Kulon menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang didominasi oleh Langkap, keanekaragaman hayati (biodiversity) sangat rendah . Hanya beberapa spesies satwa liar yang umum ditemukan di bawah hutan Langkap, antara lain : babi hutan (Sus scrofa), musang (Paradoxurus hermaphroditus), tikus (Rattus sp.) dan beberapajenis burung.

METODE
Berdasarkan studinya mengenai Landscape Ecology of Ujung Kulon, Hommel (1987) telah mengelompokkan Semenanjung Ujung Kulon menjadi 30 unit ekologi lansekap (termasuk 4 zona transisi) berdasarkan asosiasi vegetasi, beberapa aspek fisiografi (topografi, tanah, dan iklim) . Mewakili sebagian besar dari ke-30 unit ekologi lansekap tersebut, dalam penelitian ini dilakukan analisis vegetasi di 25transek dengan metode kuadrat . Selain analisis vegetasi dengan metode kuadrat tersebut, sensus Langkap dan regenerasinya juga dilakukan di areal seluas 1 ha yang didominasi oleh Langkap di Cijengkol . Pengamatan dan pengukuran beberapa karakteristik "autekologi" Langkap dilakukan pada beberapa aspek yang berkaitan dengan regenerasi, penyebaran Langkap, dan mekanisme pertahanan Langkap terhadap herbivori . Analisis data untuk kepentingan klasifikasi vegetasi dilakukan secara kuantitatif berdasarkan metode analisis Muster (Ludwigand Reynold, 1988) dan analisis deskriptif. Analisis data karakteristik "autekologi" Langkap dilakukan secara deskriptif, tabulasi dan analisis grafis . Analisis dampak invasi Langkap terhadap keanekearagaman hayati dilakukan secara deskriptif dan analisis grafis. Untuk ringkasnya, dalam makalah ini hanya disajikan butir-butir terpenting dari keseluruhan hasil analisis yang telah dilakukan .

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kecenderungan Invasi Langkap di TN Ujung Kulon
Hasil perhitungan lndeks Penting dari 25 transek di seluruh lokasi contoh menunjukkan bahwa jenis jenis tumbuhan dominan bervanasi, baik untuk tingkat pohon, tiang, pancang, semai, maupun tumbuhan bawah .
Beberapa jenis tumbuhan yang dorninan di 3 lokasi atau
lebih adalah :
a Tingkat Pohon : Oxymetra cunneiformis, Neonauclea calycina, Lagers-troemia flos-reginae, Diospyros macrophylla, Saccopetalum heterophylla, Pterospermum diversifolium, Eugenia polyantha dan Glochidion macrocarpum . Dari selunih jenis tersebut, Eugenia polyantha dan Glochidion macrocarpum merupakan jenis tumbuhan pakan penting bagi badak
Jawa.
b. Tingkat Tiang :Arenga obtusifolia, Dillenia excelsa, Ardisia humilis, dan Diospyros macrophylla.
c. Tingkat Pancang: Arenga obtusifolia, Eugenia subglauca, Ardisia humilis, Dillenia excelsadanEugenia polyantha .
d. Tingkat Semai : Arengaobtusifolia,Ardisiahumilis, Leea sambucina dan Mimusops elengi .
e. Tumbuhan Bawah: Donax cannaeformis dan Daemonorops melanochaetes
Hasil analisis vegetasi dari 25 unit contoh tersebut menunjukkan bahwa Langkap termasuk jenis tumbuhan dominan di 19 lokasi, khususnya pada tingkat tiang dan pancang . Kecenderungan invasi Langkap ditunjukkan dari analisis terhadap 10 lokasi transek yang diketahui didominasi oleh Langkap, yaitu: Citadahan, Cinogar, Cikendeng, Cidaun, Cijengkol, Cikuya, Cibuniaga, dan
Telanca (3 lokasi) . Hasil penelitian Hommel (1987) menunjukkan bahwa Langkap belum merupakan tumbuhan dominan di beberapa lokasi tersebut, yaitu : Citadahan, Cinogar, Cikendeng dan sebagian Telanca . Disebutkan bahwa vegetasi Citadahan dan Cinogar merupakan asosiasi Hyptis-Daemonorops dan Langkap sangat jarang ditemukan . Vegetasi Cikendeng merupakan asosiasi Salacca-Oncosperma dan Langkap hanya ditemukan secara lokal . Vegetasi di sebagian Telanca merupakan asosiasi Salacca-Sumbaviopsis sedangkan asosiasi bayur-Langkap (Pterospermum-Arenga) merupakan vegetasi subdominan. Dengan demikian, secara jelas dapat diketahui bahwa invasi Langkap telah terjadi di 4 lokasi . Selain itu, kecenderungan invasi Langkap juga dapat diketahui dari hasil pengamatan di lapangan . Di beberapa lokasi ditemukan Langkap yang saat ini masih dalam tahap semai, yakni : di Legon Reungit, sebagian Cicangkeuteuk, Pemanggangan dan Cigenter Hulu . Kondisi ini memberikan indikasi terdapatnya kecenderungan invasi Langkap dalam dimensi spasial . Kecenderungan dominasi Langkap di TN Ujung Kulon juga dapat diketahui dari rasio kerapatan Langkap dibandingkan dengan kerapatan total atau kerapatan 97 relatifnya pada berbagai tingkat pertumbuhan . Diketahui bahwa semakin besar kerapatan relatif Langkap pada tingkat tiang, semakin besar pula kerapatan relatif Langkap pada tingkat pancang dan semai . Keadaan tersebut juga menunjukkan tingginya stabilitas regenerasi Langkap di unit-unit contoh yang diteliti. Hal ini memberikan indikasi bahwa di daerah-daerah dimana Langkap semakin dominan terjadi pengurangan kerapatan total tumbuhan non Langkap, sehingga sejalan dengan waktu kecendenmgan dominasi Langkap akan semakin kuat . Tingginya stabilitas regenerasi Langkap didukung oleh berbagai sifat biologis Langkap yang menguntungkan, antara lain :
1. Kemampuan Langkap untuk melakukan regenerasi secara vegetatif melalui tunas akar (subterraneous shoot), bahkan hasil pengamatan dalam penelitian menunjukkan bahwa frekuensi ditemukannya tunas akar yang berkembang menjadi individu Langkap dewasa cukup sering ditemukan di lapangan, meskipun secara kuantitatif datatersebut tidak dimiliki.
2. Kemampuan untuk memproduksi banyak biji . Hasil perhitungan terhadap tandan bunga menujukkan bahwa nisbah seksual bunga jantan dan betina adalah 3 :1 . Pengamatan terhadap buah Langkap muda menunjukkan bahwa setiap bunga betina akan berkembang menjadi 2 buah Langkap, tetapi dalam perkembangannya buah yang kalah bersaing dengan
pasangannya akan gugur, sehingga hanya satu buah yang berhasil berkembang. Keadaan ini memberikan gambaran mengenai mekanisme regenerasi Langkap yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Dalam satu tandan buah Langkap tua diketahui bahwa satu pohon Langkap dapat memproduksi 1-4 tandan buah dengan jumlah buah per tandan berkisar antara 315 sampai 1800 buah atau 945 sampai 5400 biji (dalam satu buah terdapat 3 biji). Keadaan ini menunjukkan tingginya kemampuan biologis internal Langkap untuk menginvasi ekosistem hutan di Taman Nasional Ujung Kulon. Selain itu, Langkap tidak mengenal musim berbuah .
3. Kemampuan Langkap untuk mempertahankan diri terhadap herbivory . Whitten, et al. (1989) menyatakan bahwa buah Langkap muda memiliki kandungan sodium/natrium oksalat terlarut (dalam air) yang tinggi, dan apabila terjadi kontak dengan selaput lendir seperti bibir, mulut dan kerongkongan (satwa liar) akan menyerap kalsium dan membentuk kristal tajam kalsium oksalat tak terlarut (dalam air) . Hal ini dapat membunuh binatang yang memakannya . Pada buah Langkap masak, kandungan sodium oksalat sangat kecil sehingga aman dimakan satwa liar. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar binatang akan mengkonsumsi buah Langkap yang sudah masak, pada saat bijinya sudah siap untuk berkecambah Pembuktian oleh Sutarti (1995) menunjukkan bahwa kandungan senyawa oksalat terlarut yang tertinggi ditemukan pada buah Langkap yang masih sangat muda, sedangkan pada buah yang lebih tua kandungan senyawa tersebut jauh lebih rendah . Hingga saat ini predator buah muda Langkap belum diketahui secara pasti_ namun predator buah masak diketahui adalah musang (Paradoxurus hermaphroditus), Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), dan Banteng (Bos javanicus) . Dalam hal ini musang bertindak sebagai agen penyebar biji yang sangat efektif. Satu pengeluaran feses musang yang mengkonsumsi buah Langkap ditemukan biji Langkap antara 6-14 biji yang memiliki daya kecarnbah tinggi . Dari penghitungan terhadap 51 tumpukan feses musang yang ditemukan, diperoleh sebanyak 471 buah biji langkap, sehingga ratarata terdapat 9,2 buah biji langkap pada tiap-tiap feses yang dikeluarkan musang . Selain musang, Badak Jawa dan Banteng juga menlpakan agen penyebar biji Langkap, namun kedua jenis satwa ini mengkonsumsi buah Langkap dalam porsi yang sangat kecil . Kemampuan musang untuk mengkonsumsi buah Langkap masak nampaknya lebih ditentukan oleh kemampuannya untuk mengupas kulit buah Langkap yang mengandung senyawa oksalat dan mengkonsumsi salut biji (arrilus) masak tanpa kontaks langsung dengan bagian kulit buah . Pemilihan buah yang sangat masak memudahkan musang untuk mengupas Wit buah tersebut.
B. Dampak Invasi Langkap Terhadap Biodiversity
Dan seluruh hasil analisis vegetasi di 25 unit contoh dapat diketahui derajat keanekaragaman spesies tumbuhan di TN Ujung Kulon . Indeks Keanekaragaman spesies tumbuhan tersebut berkisar antara 2.08 hingga 3 .42 untuk tingkat pohon, 1 .32 hingga 2.87 untuktingkat tiang,1 .84 hingga 2.90untuk tingkat pancang, 1 .71 hingga 3.21 untuk tingkat semai, dan 1 .05 hingga 3 .36 untuk tumbuhan bawah. Variasi keanekaragaman yang tinggi tersebut diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : variasi jenis dan kesuburan tanah, ketebalan abu vulkanik, ketidakstabilan iklim (climatic instability), serta adanya kecenderungan dominasi satu atau beberapa spesies tumbuhan tertentu . Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa sebagian besar lokasi dengan keanekaragaman rendah (lebih kecil dari 2.5) merupakan komunitas vegetasi yang didominasi oleh Langkap (Arenga obtusifolia) . Keadaan ini menunjukkan bahwa invasi Langkap telah menyebabkan penurunan keanekaragaman tumbuhan di TN Ujung Kulon . Dari hasil perhitungan indeks keanekaragaman spesies tumbuhan diketahui bahwa terdapat kecendeningan indeks keanekaragarnan tumbuhan tingkat pohon lebih tinggi dari tingkat tiang, bahkan di beberapa lokasi indeks keanekaragaman tumbuhan tingkat tiang lebih tinggi dari tingkat pancang . Kecenderungan ini menunjukkan bahwa regenerasi sebagian spesies tumbuhan tidak berjalan dengan baik atau popnlasinya menurun, sehingga dinamika hutan menuju ke suatu kondisi yang tidak sama dengan kondisi semula. Hal ini diduga berkaitan erat dengan masih berlangsungnya proses suksesi vegetasi di habitat badak Jawa, terutama kaitannya dengan ditemukannya beberapa spesies tumbuhanyang memiliki sifat"invader", seperti : Langkap (Arenga obtusifolia), rotan (Daemonorops spp. Dan Calamus spp.), serta bambu (Dinocloa scandens) . Faktor pem-ebab utama penurunan keanekaragarnan jenis tumbuhan di bawah tegakan Langkap adalah rapatnya lapisan tajuk Langkap yangmenyebabkan kecilnya penetrasi cahaya ke lantai hutan, sehingga menghambat regenerasi berbagai spesies tumbuhan. Menurut Schenkel et.al (1978), lebih 95 cahayya akan diserap sebelum mencapai lantai hutan . Hasil pengarnatan di lapangan juga menunjukkan bahwa di bawah tegakan Langkap, tumbuhan bawah, semai dan pancang utnumnya sedikit . Hasil sensus di Cijengkol (1 ha) menunjukkan bahwakerapatan Langkap dewasa mencapai 426 pohon/ha, Langkap belum dewasa 244 pohon/ha dan anakan 3578 pohon/ha. Selain itu, ditemukan juga bahwa jumlah biji Langkap yang masih hidup dan terdapat di permukaan tanah berjumlah 8897 . Selain Langkap, jenis jenis tumbuhan lain yang dominan untuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 10 cm adalah laban (Vtex pubescens dan sempur (Dillenia indica). Untuk tumbuhan tingkat pancang, jenis-jenis dominan adalah rotan seel (Daemonorops melanochaetes) dan songgom (Barringtonia macrocarpa), sedangkan untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah adalah jajambuan (Sizygium sp.), dan rotan seel . Adapun kerapatan total (termasuk Langkap), tumbuhan berdiameter lebih dari 10 cm adalah 632 indi-vidu/ha, tingkat pancang 1280 individu/ha, tingat sernai dan tumbuhan bawah 3 5 .492 pohon/ha. Meskipun areal tersebut didominasi oleh Langkap, namun kerapatan tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah tinggi . Hal ini disebabkan kelembaban daerah tersebut tinggi, sehingga membantu proses perkecambahan . Bila dilihat kerapatan tingkat pancang yangjauh lebih rendah, dapat diketahui bahwa semai yang berhasil berkecambah banyak yang tidak berhasil tumbuh hingga ke tingkat pancang. Dilihat dari indeks keanekaragaman/kekayaan spesiesnya, tingkat semai dan tumbuhan bawah adalah yang tertinggi (H=3 .67, 64 spesies, 40 Famili), berturutturut diikuti oleh pancang (H=3 .28, 50 spesies, 30 Famili), tiang (1-1=2.58,22 spesies, 15 Fanuli) dan pohon (H=2.16) . Aktivitas pembukaan Langkap menyebabkan Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 peningkatan jumlah spesies secara nyata, pada penebangan 100% Langkap diketahui terjadi penambahan 149 jenis tumbuhan . Kenyataan tersebut memberikan indikasi bahwa keberhasilan regenerasi spesies tumbuhan di bawah tegakan Langkap relatif rendah (Prayitno, 1995). Meskipun belum diteliti secara khusus, penunman keanekaragaman spesies tumbuhan diduga akan mempengaruhi keanekaragaman spesies satwa liar. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di areal yang didominasi oleh Langkap hanya ditemukan sedikit spesies satwa liar, antara lain : babi hutan (Sus Scrofa), musang(Paradoxurus hermaphroditus), tikus (Ratussp .), dan beberapa jenis burung . Jenis jenis satwa liar lain yang kadang-kadang ditemukan jejaknya di bawah tegakan Langkap adalah : Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus) . Banteng (Bos javanicus), Ajag (Cuon alpinus) dan Kijang (Muntiacus muntjak).

KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kecenderungan invasi Langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional Ujung Kulon sangat tinggi dan diduga merupakan bagian dari proses suksesi vegetasi setelah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 . Pada tahap akhir suksesi diperkirakan akan terbentuk konsosiasi Langkap .
2. Adanya invasi Langkap di TN Ujung Kulon secara nyata akan menurunkan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun satwa liar.
3. Penelitian lebih lanjut mengenai invasi Langkap, khususnya untuk mengidentifikasi sumber invasi, laju kecepatan invasi dan faktor-faktor yang menyebabkan invasi perlu segera dilakukan berdasarkan pendekatan sinekologi dan autekologi .


















Sumber : www. Pdf Taman nasional ujung kulon jawa barat.com
               http://www. http://www.flickr.com/photos/asiapulppaper/6130631545/


Review :
Berdasarkan penelitian di atas, didapatkan  dua bidang kajian, yaitu Autekologi dan Sinekologi.
Dari segi autekologi, maka bisa dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dapat juga dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Bahkan dalam autekologi dapat dipelajari pola perilaku suatu jenis binatang liar, sifat adaptasi suatu jenis binatang liar, maupun sifat adaptasi suatu jenis pohon.  Seperrti halnya pada penelitian di atas, Badak Jawa memilih lokasi mencari makan di areal hutan sekunder dan aksesibilitasnya relatif mudah. Selain itu Badak Jawa memilih spesies tumbuhan pakan yang tumbuh di tempat terbuka, karena umumnya memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dan menuli dkandungan racun lebih rendah dibanding dengan tumbuhan yang tumbuh di bawah naungan. Dengan demikian, jelas bahwa dominasi Langkap yang bersifat mengharnbat penetrasi cahaya ke lantai hutan akan menghambat pertumbuhan anakan berbagai spesies tumbuh-an pakan Badak Jawa. Selain itu, kecenderungan dominasi Langkap di TN Ujung Kulon juga dapat diketahui dari rasio kerapatan Langkap dibandingkan dengan kerapatan total atau kerapatan 97 relatifnya pada berbagai tingkat pertumbuhan . Diketahui bahwa semakin besar kerapatan relatif Langkap pada tingkat tiang, semakin besar pula kerapatan relatif Langkap pada tingkat pancang dan semai . Keadaan tersebut juga menunjukkan tingginya stabilitas regenerasi Langkap di unit-unit contoh yang diteliti. Hal ini memberikan indikasi bahwa di daerah-daerah dimana Langkap semakin dominan terjadi pengurangan kerapatan total tumbuhan non Langkap, sehingga sejalan dengan waktu kecendenmgan dominasi Langkap akan semakin kuat . Tingginya stabilitas regenerasi Langkap didukung oleh berbagai sifat biologis Langkap yang menguntungkan, antara lain :
1. Kemampuan Langkap untuk melakukan regenerasi secara vegetatif melalui tunas akar (subterraneous shoot), bahkan hasil pengamatan dalam penelitian menunjukkan bahwa frekuensi ditemukannya tunas akar yang berkembang menjadi individu Langkap dewasa cukup sering ditemukan di lapangan, meskipun secara kuantitatif datatersebut tidak dimiliki.
2. Kemampuan untuk memproduksi banyak biji . Hasil perhitungan terhadap tandan bunga menujukkan bahwa nisbah seksual bunga jantan dan betina adalah 3 :1 . Pengamatan terhadap buah Langkap muda menunjukkan bahwa setiap bunga betina akan berkembang menjadi 2 buah Langkap, tetapi dalam perkembangannya buah yang kalah bersaing dengan
pasangannya akan gugur, sehingga hanya satu buah yang berhasil berkembang. Keadaan ini memberikan gambaran mengenai mekanisme regenerasi Langkap yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Dalam satu tandan buah Langkap tua diketahui bahwa satu pohon Langkap dapat memproduksi 1-4 tandan buah dengan jumlah buah per tandan berkisar antara 315 sampai 1800 buah atau 945 sampai 5400 biji (dalam satu buah terdapat 3 biji). Keadaan ini menunjukkan tingginya kemampuan biologis internal Langkap untuk menginvasi ekosistem hutan di Taman Nasional Ujung Kulon. Selain itu, Langkap tidak mengenal musim berbuah .
3. Kemampuan Langkap untuk mempertahankan diri terhadap herbivory . Whitten, et al. (1989) menyatakan bahwa buah Langkap muda memiliki kandungan sodium/natrium oksalat terlarut (dalam air) yang tinggi, dan apabila terjadi kontak dengan selaput lendir seperti bibir, mulut dan kerongkongan (satwa liar) akan menyerap kalsium dan membentuk kristal tajam kalsium oksalat tak terlarut (dalam air) . Hal ini dapat membunuh binatang yang memakannya . Pada buah Langkap masak, kandungan sodium oksalat sangat kecil sehingga aman dimakan satwa liar. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar binatang akan mengkonsumsi buah Langkap yang sudah masak, pada saat bijinya sudah siap untuk berkecambah Pembuktian oleh Sutarti (1995) menunjukkan bahwa kandungan senyawa oksalat terlarut yang tertinggi ditemukan pada buah Langkap yang masih sangat muda, sedangkan pada buah yang lebih tua kandungan senyawa tersebut jauh lebih rendah .
Dari segi sinekologi, dapat dipelajari berbagai kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya mempelajari pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan. Dalam ekosistem bisa juga dipelajari pengaruh berbagai faktor ekologi terhadap kondisi populasi, baik populasi tumbuhan maupun populasi binatang liar yang ada di dalamnya. Seperti hal nya penelitian di atas, contoh sinekologi misalnya, Predator buah masak Langkap diketahui adalah musang (Paradoxurus hermaphroditus), Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), dan Banteng (Bos javanicus) . Dalam hal ini musang bertindak sebagai agen penyebar biji yang sangat efektif. Satu pengeluaran feses musang yang mengkonsumsi buah Langkap ditemukan biji Langkap antara 6-14 biji yang memiliki daya kecarnbah tinggi . Dari penghitungan terhadap 51 tumpukan feses musang yang ditemukan, diperoleh sebanyak 471 buah biji langkap, sehingga ratarata terdapat 9,2 buah biji langkap pada tiap-tiap feses yang dikeluarkan musang . Selain musang, Badak Jawa dan Banteng juga menlpakan agen penyebar biji Langkap, namun kedua jenis satwa ini mengkonsumsi buah Langkap dalam porsi yang sangat kecil . Kemampuan musang untuk mengkonsumsi buah Langkap masak nampaknya lebih ditentukan oleh kemampuannya untuk mengupas kulit buah Langkap yang mengandung senyawa oksalat dan mengkonsumsi salut biji (arrilus) masak tanpa kontaks langsung dengan bagian kulit buah . Pemilihan buah yang sangat masak memudahkan musang untuk mengupas Wit buah tersebut. Dimana dalam kajian ini disebut sinekologi karena kelompok organisme tersebut tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam wilayah taman nasional tersebut untuk menyebarkan biji langkap yang dipengaruhi oleh lingkungan tersebut.