Sabtu, 01 Oktober 2011

Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur.


Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq.
(Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur.

Perbedaan Sinekologi dan Autekologi :
(1)    Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.  
(2)Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam     satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari             struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan         payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka           margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.
.

Myristicaceae merupakan famili khas tropis dengan Myristica sebagai genus terbesar. Di antara 175 spesies Myristica di dunia 9 spesies merupakan spesies asli Indonesia bahkan beberapa termasuk endemik, langka dan dilindungi undang-undang. Myristica teijsmannii Miq. atau dikenal dengan nama Durenan, Palan, Kosar atau Kayu Resep merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam kategori endangered atau genting menurut IUCN dengan kriteria EN B1+2C. Spesies ini memiliki penyebaran jarang dan baru dilaporkan ditemukan di Jawa Timur, yaitu di kawasan Pacitan - Gunung Kawi, Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro dan Pulau Sempu. Data kuantitatif status populasi serta aspek-aspek ekologis, kebutuhan dan interaksi ekologis M. teijsmannii dengan habitatnya (autekologi) belum diketahui. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari populasi, karakteristik habitat, interaksi dan kebutuhan-kebutuhan ekologis M. teijsmannii dengan memfokuskan penelitian di Pulau Sempu yang berstatus sebagai cagar alam. Studi ini dilakukan di enam lokasi yang secara estimasi visual mewakili keragaman floristik dan kondisi lingkungan Cagar Alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Teluk Semut, Air Tawar, Gua Macan, dan Waru-waru. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa tegakan pohon M. teijsmannii menunjukkan nilai dominasi relative dan kerapatan tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha denganindeks nilai penting sebesar 27,91% yang menunjukkan dominasi M. teijsmannii. Struktur populasinya secara keseluruhan didominasi oleh fase semai, sedangkan fase-fase yang lebih dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon memiliki proporsi terendah. Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi M. teijsmannii. Waru-waru memiliki jumlah total individu terbanyak (59 individu) sedangkan di Telaga Lele hanya ditemukan 5 individu. Di Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut nampak jelas dominasi fase semai dengan kecenderungan menurun pada populasi fase lebih dewasa. Di Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa rekruitmen semai tidak merata di setiap lokasi, berkaitan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dilihat dari segi gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan efek tepi (edge effect) yang lebih meluas ke dalam hutan sehingga dapat merugikan pertumbuhan populasi M. teijsmannii. M. teijsmannii menyebar secara mengelompok dengan indeks penyebaran Morisita (Ip) 0,51 dan berasosiasi positif dengan 12 spesies pohon pada tingkat asosiasi yang bervariasi. Tingkat asosiasi yang cukup tinggi berdasarkan Jaccard Index ditunjukkan oleh Pterospermum javanicum (0,529), Cryptocarya ferrea (0,500), Orophea hexandra (0,455), dan Aglaia elliptica (0,467). Agen dispersal bijinya adalah lutung Jawa (Trachypitecus auratus) dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Keberadaan kedua spesies tersebut perlu dilindungi agar kelangsungan populasi M. teijsmannii juga dapat terjaga. Hasil analisis korelasi antara parameter kemelimpahan spesies dan faktor fisika serta kimia tanah menunjukkan bahwa jumlah individu fase sapihan, tiang dan pohon M. teijsmannii berkorelasi kuat pada tanah yang memiliki kandungan pasir lebih tinggi. Ini menjadi argumen mengapa Waru-waru dikoloni individu M. teijsmannii lebih banyak daripada lokasi lainnya karena lokasi ini memiliki kandungan pasir lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Fase sapihan memiliki korelasi kuat tidak saja dengan kandungan pasir tetapi juga dengan kandungan C, N dan K. Ini menunjukkan faktor kesuburan tanah (rasio C dan N) menentukan seedling recruitment dan seedling establishment menuju fase sapihan yang lebih dewasa. Secara umum pH di lokasi penelitian bersifat netral (6,0 – 7,0) dengan rataan suhu 24-260C dan kelembaban tanah 45-86%. Suhu udara pada pengukuran
sekitar pukul 08.00-14.00 tercatat antara 22-300C dengan kisaran kelembaban udara 53-92%. Teluk Semut memperlihatkan nilai kelembaban udara yang relatif tinggi, antara lain disebabkan oleh kondisi hutan di kawasan tersebut yang relatif terang dan memiliki lebih banyak gap kanopi. Kondisi ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kesintasan semai di kawasan ini sangat rendah. Pengujian statistik untuk model distribusi populasi M. teijsmannii dengan menggunakan metode Generalized Linear Model (GLM) terhadap pengaruh faktor topografis memberikan ketepatan model atau deviansi sebesar 1,10 yaitu berkategori baik dengan nilai signifikan pada lereng dan arah lereng. Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi populasi M. teijsmannii ditentukan oleh lereng dan arah lereng tetapi tidak oleh ketinggian. Kehadiran individu M. teijsmannii secara signifikan dijumpai lebih banyak pada kawasan datar dengan kemiringan 0-8%, sedangkan pada kemiringan agak curam (15-25%) dijumpai populasi yang rendah. M. teijsmannii ditemukan pada seluruh kisaran kelas ketinggian di CA Pulau Sempu, tepatnya pada 25–86 m dpl sehingga variabel ketinggian lokasi tidak memberikan perbedaan yang berarti secara statistik terhadap kehadiran individu. Jumlah individu dalam plot pengamatan cenderung semakin banyak pada arah lereng yang tidak mengarah langsung ke sebelah timur, yaitu pada utara-barat. Sebaliknya pada aspek yang langsung mengarah ke timur, jumlah individu ditemukan semakin sedikit. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada lereng yang tidak memperoleh sinar matahari sepanjang hari. Fenomena ini mendukung dugaan bahwa spesies ini memiliki sifat semi toleran. Pihak pengelola Resort CA Pulau Sempu perlu menekan dampak aktivitas pengunjung terhadap keaslian dan kealamian habitat di kawasan ini. Kawasan Teluk Semut perlu mendapat pengawasan dan pengelolaan yang lebih baik karena ada ketidakseimbangan populasi M. teijsmannii sebagai tumbuhan langka Jawa Timur. Selain itu, lokasi ini juga merupakan jalur jelajah lutung sebagai agen dispersal biji, dan merupakan habitat bagi macan tutul (hewan yang juga dilindungi) seperti yang teramati dalam penelitian.

Sumber: 

 Review:
Hasil dari penelitian tersebut sudah jelas bahwa penelitian berbasis autekologi, dimana autekologi sendiri adalah ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dimana penelitian tersebut dilakukan untuk mempelajari populasi, karakteristik habitat, interaksi dan kebutuhan-kebutuhan ekologis M. teijsmannii dengan memfokuskan penelitian di Pulau Sempu yang berstatus sebagai cagar alam. Studi ini dilakukan di enam lokasi yang secara estimasi visual mewakili keragaman floristik dan kondisi lingkungan Cagar Alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Teluk Semut, Air Tawar, Gua Macan, dan Waru-waru. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa tegakan pohon M. teijsmannii menunjukkan nilai dominasi relative dan kerapatan tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha denganindeks nilai penting sebesar 27,91% yang menunjukkan dominasi M. Teijsmannii. Penelitian menunjukkan bahwa rekruitmen semai tidak merata di setiap lokasi, berkaitan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dilihat dari segi gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan efek tepi (edge effect) yang lebih meluas ke dalam hutan sehingga dapat merugikan pertumbuhan populasi M. teijsmannii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar